Jumat, 15 Mei 2020

USAI BERCERAI - 1

USAI BERCERAI - 1

oleh : Dewi Fatimah

"Han, aku ... aku udah dicerai."
Ratu, wanita ayu di hadapanku itu menyeka pipi basahnya berulang kali.
Jantungku bergeming sedetik, lalu berdetak kembali dengan sangat kencang hingga terasa sakit. Entah mengapa, sedari dulu tak tega jika harus melihatnya terluka. Dan itu membuatku yakin bahwa cinta ini masih sama kadarnya.
"Ra ..., tapi bagaimana bisa?" tanyaku pelan dan hati-hati.
Ratu tersenyum tipis, miris. Ia menggeleng samar. Jemari lentiknya terulur mengambil tisu yang aku sodorkan. Lalu ia menyeka pipinya hingga jejak air mata tak bersisa. Tapi percuma. Toh, bulir-bulir bening itu kembali mengalir tanpa jeda.
"Entahlah, Han," kalimatnya terjeda oleh isakan, "mungkin karena bukan cinta dasar kami membina rumah tangga. Sering terjadi konflik yang makin lama makin susah dicari jalan keluar. Ego kami sama-sama tinggi."
Menikah bukan karena cinta ....
Aku mengerti. Karena kami bernasib sama. Ya, aku pun begitu. Menikah dengan wanita yang sama sekali tidak kucintai. Sosok yang bagiku masih asing hingga kini. Setelah hampir enam bulan usia pernikahan kami.
"Terus ..., rencana kamu selanjutnya apa?"
Seorang pramusaji datang menyajikan menu makan siang yang kami pesan. Dua piring nasi goreng kambing dan dua gelas jeruk panas. Oh Tuhan, bahkan makanan favorit kami masih sama!
Ratu menggeleng. Bimbang. Ia melempar pandangan ke luar jendela. Gumpalan awan cokelat menggantung di langit Jakarta. Seakan menggambarkan suramnya perasaan mantan kekasih di hadapanku.
"Makan dulu, Ra." Aku menggamit jemarinya, membuatnya menoleh dengan senyum yang masih sama. Lengkungan bibir yang kurindu selama tiga tahun lamanya.
Kami mulai hening. Menikmati makanan masing-masing.
"Gimana kabar Maysa?" tanya Ratu setelah menelan kunyahan pertama.
Maysa, nama istriku.
"Baik." Aku menjawab singkat. Malas membahasnya.
"Maysa belum hamil?"
Aku hampir tersedak. Kudapati Ratu melipat dahi. Heran dengan reaksi yang mungkin terlihat aneh dan berlebihan.
"Belum."
Kembali hening. Ada ketidaknyamanan ketika nama Maysa menyelip di antara obrolan kami. Yah, bagaimanapun kami dulunya sepasang kekasih. Yang pernah merajut mimpi bersama. Pernah menyusun angan berdua. Lalu perjodohan yang dialami Ratu mengobrak-abrik semuanya.
"Han ..., maaf kalau aku ...." Wanita berusia 27 tahun itu menggantung kalimatnya, membuatku menatapnya penuh tunggu. "Maaf kalau aku malah nemuin kamu."
"Kenapa minta maaf?"
Ratu tersenyum getir. "Karena aku sadar posisi kita masing-masing."
Aku menyeruput jeruk hangat. Membiarkan rasa manis asamnya memenuhi mulut. Sungguh, ada rasa gugup saat ini. Makan berdua dengan mantan yang kembali membangkitkan berbagai kenangan.
"Ra, kamu enggak lupa, kan? Kalau sebelum kita benar-benar berpisah, kamu janji akan jadiin aku sahabat baik kamu? Tapi setelah itu, justru kamu yang enggak pernah ngasih kabar apa-apa. Sampe ... ya ... sampe semua ini terjadi."
Ratu tersenyum tipis lalu menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. Detik kemudian, ia mengunyah pelan, sambil sesekali menyugar rambutnya yang menjuntai ke depan. Ah, wanita ini masih saja membuat mataku tersihir oleh pesonanya.
"Reyhan, untuk yang satu itu aku minta maaf. Aku berusaha menghargai pernikahan kami, meskipun terjalin tanpa cinta. Aku berusaha menjadikan suamiku sebagai orang pertama yang tahu semua masalah-masalahku. Aku berusaha menjadikan dia segala-galanya dalam hidup aku—"
"Tapi sekarang apa yang kamu dapetin?" potongku agak emosi. Jujur, rentetan kalimatnya membuatku cemburu.
"Ini di luar kuasaku, Han ...." Air mata itu kembali lolos.
Aku mengangguk-angguk paham. Kembali menyeruput jeruk hangat untuk meredam gejolak yang bersarang.
"Jadi, apa rencana kamu setelah ini?" tanyaku sekali lagi.
"Menjalani proses sidang. Kalau udah kelar dan kami resmi bercerai, aku bakalan pergi bawa Bastian."
Bastian, nama anak laki-laki hasil pernikahan mereka.
"Ke mana?"
Ratu mengedikkan bahu. "Bakalan aku pikir sambil jalan."
"Berapa usia anak kamu sekarang?"
"Dua tahun."
Oh, pasti sedang lucu-lucunya. Kasihan jika harus menghadapi perceraian orang tuanya.
"Han, makasih." Ratu meletakkan tangan kanannya di atas punggung tangan kiriku. Kedua mataku melebar seiring rasa nyaman yang menjalar.
Aku menggenggam tangan itu, lalu berkata, "Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan untuk ngomong ke aku. Oke?"
Ratu mengangguk senang.
Usai makan, aku kembali ke kantor setelah mengantar Ratu ke sebuah mall. Dia memiliki butik di sana. Bisnis yang ia bangun bersama suaminya.
Entah bagaimana setelah mereka bercerai. Aku khawatir, Ratu akan kehilangan pekerjaan. Menjalani hidup dengan status janda satu anak tentu tidak mudah, bukan?
Aku harus melakukan sesuatu untuknya. Seseorang yang masih begitu kucinta.
*
Maysa Al-Mahira. Seperti biasa dia menyambut kedatanganku dengan senyum khasnya. Lumayan manis, menurutku. Tapi entah kenapa belum sanggup meluluhkan hati untuk bertekuk mencintainya. Memang secara fisik, kuakui pesona Mahira tidak ada apa-apanya dibanding Ratu.
"Gimana kabar Abang hari ini?" tanya Maysa sembari menyiapkan hidangan makan malam.
"Baik. Ya, begitulah. Sama kayak kemarin-kemarin."
Wanita berusia 24 tahun itu tersenyum, menampilkan kedua lesung pipi. Matanya yang memang agak sipit seakan memejam.
"Abang mandi dulu, gih. Setelah itu salat magrib, baru deh kita makan. Aku bikin cumi hitam kesukaan Abang."
Aku mengangguk. Melangkahkan kaki ke kamar untuk mengambil handuk lalu mandi.
Sejak menikah dengan Maysa, hidupku seperti ada yang mengatur. Lakukan ini dulu, baru itu. Itu dulu baru ini. Dan aku lebih sering mengiyakan, malas mendebat.
"May, ada pengen Abang omongin," tuturku usai makan malam.
Maysa yang sudah berdiri hendak membereskan meja makan, menghentikan aktivitasnya. Ia kembali duduk, menungguku bicara.
Berdehem tiga kali untuk memastikan tidak ada yang menyangkut di kerongkongan, aku mulai bicara. Hati-hati.
"May, kamu tahu Abang nikahin kamu karena apa."
Maysa bergeming. Hanya kedua bola matanya yang bergerak-gerak mengamati wajahku. Dia selalu seserius itu memperhatikanku.
"May, hingga detik ini ... entah kenapa Abang belum bisa cinta sama kamu."
Maysa sedikit menunduk.
"Dan menurut Abang, kamu pantas mendapatkan laki-laki yang bisa mencintai kamu dengan tulus. Abang yakin, ada banyak laki-laki di luar sana yang mau sama kamu."
Memang tidak begitu cantik, tapi dia baik. Sangat baik.
Maysa menunduk lebih dalam.
"Laki-laki yang sesuai harapan kamu. Saleh dan bisa kamu ajak masuk surga bersama-sama. Bukan kayak Abang yang ... bahkan untuk bangun subuh aja susahnya bukan main."
"Maksud Abang apa?" Maysa bicara dengan suara tersekat.
"Abang pengen Maysa bahagia."
Maysa mengangkat wajah, memandangku penuh tanya.
"Abang enggak bisa melanjutkan pernikahan hambar ini."
Gantian aku yang menunduk, tak bernyali menatap mata yang telah dipenuhi genangan kaca-kaca.
"Aku ... salah apa, Bang?" Maysa bertanya lirih.
Aku menggeleng samar. "Kamu enggak salah apa-apa. Abang yang salah. Belum bisa mencintai seorang wanita sebaik Maysa."
"Apa Abang lupa dengan perkataanku sebelum kita menikah? Bahwa pernikahan tidak harus diawali rasa cinta?"
Aku kembali menggeleng. Tentu saja masih ingat. Kupikir waktu itu akan mudah. Seperti perkataan Mama. Bahwa cinta bisa tumbuh seiring berjalannya rumah tangga. Tapi nyatanya apa? Pernikahan ini hanya membuatku mati rasa.
Ya, mati rasa. Hingga pertemuan dengan Ratu siang tadi kembali menghidupkan separuh hati yang telah mati karena kepergiannya.
"Tolong Abang sebutkan, aku kurang apa? Biar aku bisa memperbaikinya." Maysa berkata diselingi isak tangisnya.
"Kamu baik. Enggak ada yang kurang. Tapi cinta memang enggak bisa dipaksa, May ...."
"Jadi ...."
"Abang ingin kita cerai."
"Cerai?" Maysa menggumam. Untuk dirinya sendiri.
Aku mengangguk yakin. Sejujurnya, niat ini sudah ada sedari dulu. Keraguan, itulah yang sering membuatku mengulur waktu. Dan mungkin ini saat yang tepat. Sebelum kami punya anak. Pasti akan ada banyak drama. Aku yakin itu.
Maysa mengepalkan tangan. Kedua matanya terpejam dengan tetes-tetes bening yang menghujani meja tanpa jeda. Sakit hatikah ia? Bukankah dalam dirinya juga tidak ada cinta? Karena yang kutahu, hatinya masih untuk calon suaminya yang meninggal sebelum mereka menikah. Dan aku yakin, dia mau menikah denganku karena ingin move on dari masa lalu.
"Bagaimana dengan Mama?" tanya Maysa lirih.
Mama adalah tokoh utama dalam pernikahan ini. Dia yang mempertemukan aku dengan Maysa. Hanya wanita seperti Maysa yang bisa membantuku menjadi laki-laki saleh, katanya.
"Biar Abang yang bicara sama Mama. Kamu tenang aja."
Maysa mengangguk. "Jika itu yang Abang mau."
Ya, sudah kuduga. Akan ringan baginya untuk lepas dari pernikahan ini. Pernikahan tanpa cinta. Dan aku yakin bercerai adalah jalan terbaik bagi kami.
Maysa bangkit, masuk kamar.
Aku mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Menghela napas berkali-kali. Ada rasa lega, tapi juga ada perasaan entah yang tiba-tiba datang begitu saja.
Hampir satu jam kemudian, Maysa keluar. Aku menatapnya heran. Dia mengenakan gamis dan kerudung lebar. Apakah dia akan pergi malam ini juga?
Aku membuka-buka ponsel, menanyakan kabar Ratu. Maysa kembali ke meja makan untuk membereskan piring-piring sisa makan malam. Tanpa melirik sedikit pun padaku dan tanpa bicara sepatah kata.
Namun ketika aku hendak beranjak, Maysa memanggilku lirih.
"Bang ...."
Aku menoleh.
"Em ..., karena Abang sudah menceraikan saya ...." Ia menyeka sudut matanya yang sembap.
Saya? Dari aku menjadi saya? Alisku terjungkit sebelah.
"Jadi mulai malam ini, saya menjalani masa iddah."
Aku membalik badan. Menatapnya serius.
"Masa iddah itu ... masa menunggu bagi seorang wanita yang telah dicerai suaminya." Ia bicara dengan menunduk dan bibir bergetar.
"Terus?"
"Dan masa iddah harus dijalani di rumah suami. Selama tiga kali masa suci. Atau mudahnya kurang lebih tiga bulan."
Aku mengembuskan napas. Terus apa maksud gamis dan kerudung yang ia pakai malam ini?
Maysa menatapku takut-takut. Damn! Drama macam apa ini?
"Saya ... izin memakai kamar satunya." Ekor matanya melirik kamar sebelah.
"Oke. Terus, kamu mau ke mana?"
Maysa menggeleng. "Enggak ke mana-mana."
Dahiku mengernyit. "Kenapa pake gamis?"
"Oh .... Ini .... Karena mulai sekarang, Abang enggak boleh lihat aurat saya."
Aku menganjur napas lalu menggeleng heran. Wanita ini ... segitu taatnya sama aturan agama. Kita lihat saja, seberapa lama ia sanggup bertahan di rumah ini dengan memakai gamis dan kerudung setiap hari.
*
Pukul tiga pagi. Aku terbangun. Melirik lantai, tempat yang biasa dipakai Maysa untuk tahajud. Kosong. Ah, ya. Dia ada di kamar sebelah. Kami sudah bercerai.
Ya, secara agama, kami sudah bukan suami-istri lagi.
Aku kembali tidur, hingga alarm yang kupasang di ponsel terdengar nyaring. Pukul lima pagi.
Aku bangun, menuju kamar mandi. Mengambil wudu, menunaikan salat. Ada yang aneh. Aku bisa bangun sepagi ini? Biasanya Maysa perlu mengguncang tubuhku berkali-kali sekedar membuat mataku terbuka. Lalu serentetan omelan keluar dari bibir tipisnya.
"Makanya, Abang itu jangan tidur terlalu malam. Susah bangun, kan, jadinya?"
"Salat subuh itu disaksikan malaikat, loh Bang. Masa enggak malu kalau yang tercatat di buku amal, subuh kesiangan."
"Abang sih, bangun malam bukannya tahajud, malah main game."
Aku tersenyum tipis. Rasanya telah merdeka.
Usai salat, aku membuka laptop, mengerjakan laporan. Terdengar bunyi pagar bergeser. Mungkin Maysa pergi belanja. Oh, ya, bagaimana tidurnya di kamar sebelah? Di sana cuma ada kasur busa tipis. Tidak ada AC, hanya kipas angin. Apa ... tidurnya nyenyak?
Shiitake gundul! Kenapa malah kepikiran Maysa?
Pintu pagar kembali bergeser. Aku beranjak, menyingkap gorden. Sedikit. Demi bisa melihat sosok yang tengah menguasai pikiran.
Terlihat baik-baik saja.
Aku mendengkus. Lalu kembali berjibaku dengan laporan. Dan lima belas menit kemudian, perutku berisik. Minta diisi, apalagi? Memang sudah jamnya sarapan. Biasanya, Maysa sudah memanggilku ke meja makan.
Aku bangkit keluar. Menyemburkan napas kuat saat mendapati meja makan kosong. Hanya tudung saji yang di bawahnya tak ada apa-apa. Bahkan semut pun tidak ada yang lewat saking bersihnya.
Baiklah. Sepertinya aku harus segera mandi, ke kantor, lalu sarapan di kantin.
Ketika menggenggam handle pintu, aku menoleh kamar sebelah. Tertutup rapat.
May, kamu lagi apa?
-x-
Next?