Jumat, 15 Mei 2020

USAI BERCERAI - 11

USAI BERCERAI - 11

OLEH : DEWI FATIMAH

"Gimana kabar Maysa?"

Entah pertanyaan itu sudah kuulang berapa kali. Sejak bangun dari tidur yang agak panjang, pikiranku terus terpaku pada si pembawa separuh hati.

Mama hanya mendesah lesu, lalu memberi jawaban yang sama. "Terakhir Mama lihat, belum siuman."

Di hadapanku tersaji sarapan. Nasi, sup ayam dan sayur, tempe goreng, dan puding buah. Seluruhnya terlihat pucat. Entah, mungkin pandanganku yang sedang bermasalah. Sudah berkali-kali Mama memintaku makan, tapi seleraku menguap, hilang.

"Rey, obatnya harus diminum. Makan dulu, ya?" Mama kembali membujuk.

"Obat apa sih, Ma? Palingan antibiotik sama pereda nyeri."

"Biar cuma antibiotik tapi kan penting. Biar lukamu cepet sembuh."

Akibat tertimpa reruntuhan kemarin, kepala bagian belakang mengalami cidera. Lukanya cukup lebar. Sekarang kepalaku dililit perban. Punggung juga memar. Efeknya, aku tidak bebas menggerakkan badan. Nyeri dan kaku seperti habis dikeroyok puluhan orang.

Menit kemudian, Papa masuk. Cukup mengejutkan karena di balik punggungnya ada seseorang. Papa Mertua. Atau mantan papa mertua? Apapun sebutannya sekarang, aku tetap memanggilnya Papa.

"Gimana kabarnya, Rey?" tanya Papa Mertua.

Beliau lebih ramah dari pada Mahesa. Meskipun sama-sama sering kambuh dengan sikap dinginnya. Aku baru tahu kalau sifat adalah manifestasi yang bisa menurun. Kadang-kadang Maysa juga membeku seperti itu.

Aku hanya tersenyum sebagai jawaban. Mau bilang baik, tapi tidak sedang baik-baik saja. Mau bilang mendingan, tapi badan masih sakit semua.

Papa mempersilakannya duduk di sebelah ranjang. Posisi kami kini sejajar. Sedangkan Mama memindahkan sarapan yang belum tersentuh ke atas nakas. Setelahnya, orang tuaku beranjak keluar, meninggalkan kami berdua. Aku yakin ada hal serius yang ingin dibicarakan oleh Papa Mertua.

"Saya ingin berterimakasih," ucapnya seperti menyampaikan pidato resmi.

Ya ampun, aku tahu beliau ini pejabat. Tapi sama mantan menantu jangan sekaku ini, please.

"Terimakasih sudah menyelamatkan Maysa. Waktu dapat telepon dari pihak polisi, pikiran saya sudah kalut. Tidak bisa dibayangkan jika detik itu harus kehilangan anak sebaik dia."

Aku menyentak napas lirih. Mungkin, ketakutan kami berdua setara.

"Maysa sudah sadar. Dia langsung menanyakan keadaanmu," tutur Papa Mertua dengan selarik senyum di bibirnya.

Aku menatap mata beliau lekat-lekat. Mencari kebenaran atas ucapannya.

"Dia khawatir."

Mendengar itu, rasanya seperti minum sekaleng soda dingin. Melepas dahaga sekaligus menyegarkan, dengan bonus sensasi cekit-cekit menyenangkan di dada sini. Percaya atau tidak, ada senyuman yang kutahan-tahan. Gengsi lah tampak merona di depan mantan mertua.

"Untuk masalah kalian, saya sebagai orang tua hanya berharap segera diselesaikan. Dan mendoakan yang terbaik."

Aku menghela napas. Teringat berkas-berkas untuk mengajukan gugatan cerai ke pengadilan.

"Saya sangat kecewa, Reyhan. Hanya dalam hitungan bulan, rumah tangga kalian berakhir begitu saja. Dan, ayah mana yang sanggup melihat putrinya terluka? Tidak ada."

Ya, aku paham betul soal itu.

"Reyhan, dengar. Dulu saya sangat berharap sama kamu, bahwa kamu akan menjadi laki-laki yang membahagiakannya. Seumur hidup. Sesuatu yang tidak bisa saya lakukan sebagai ayahnya."

Papa Mertua menjeda ucapannya dengan embusan napas berat.

"Maysa sudah berkali-kali terluka. Terutama oleh saya."

Aku memandangi lelaki berkacamata di hadapanku. Menanyakan kebenaran lewat tatapan dan beliau mengangguk, membenarkan.

"Ya, saya pernah menelantarkan Maysa bertahun-tahun lamanya," tutur beliau kemudian disusul helaan napas yang panjang. Kedua netranya yang mulai tak jernih, memandang ke luar jendela. Seakan menerawang ke masa silam.

Beliau pun berkisah tentang masa kecil Maysa. Pada beberapa bagian, Papa Mertua menitikkan air mata penyesalan. Jujur, aku terkejut. Maysa belum pernah menceritakan ini. Yang kutahu, ibunya yang merupakan istri kedua Papa Mertua, meninggal dunia sewaktu ia masih duduk di bangku kelas satu SMP. Lalu ketika sudah lulus, ia dijemput ke Jakarta untuk tinggal bersama dan melanjutkan sekolahnya.

Seolah tak ada beban masa lalu yang ia tanggung ketika menceritakan itu. Rupanya, ia hanya berusaha menyembunyikan luka. Agar terlihat baik-baik saja.

Maysa ....

*

Maysa duduk di atas kursi roda. Menghadap kolam ikan kecil yang menjadi sentral taman paviliun rumah sakit. Ini hari ketiga dia dirawat. Kaki kanannya baru menjalani operasi kemarin. Ada retak di bagian tulang kering. Sedangkan aku sudah diizinkan pulang Sabtu lalu. Setelah dipastikan tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan. Hanya saja, perban ini harus melilit di kepala untuk beberapa hari ke depan.

Mahesa tersenyum lalu menepuk pundakku. Ia sedikit mengayunkan kepala, memberi isyarat bahwa aku sudah boleh menemui Maysa.

"Maysa jarang terbuka soal kedekatannya dengan laki-laki. Jadi kalau kamu pengen tahu, tanyakan aja ke Maysa sendiri." Kalimat Mahesa kemarin masih terekam dengan sangat baik di otak ini.

Sejak musibah kebakaran itu, hubungan keluarga kami kembali hangat. Setelah beberapa bulan seperti dua negara yang melakukan perang dingin. Meski tanpa genjatan senjata, tapi suasana mencekam itu sangat terasa.

Aku berjalan menuju taman paviliun. Lalu duduk di bangku panjang yang bersisian dengan kursi roda Maysa. Sengaja menyisakan sedikit ruang agar kami tidak terlalu berdekatan.

Menyadari kehadiran seseorang, Maysa sedikit menoleh. Lalu kembali memandangi ikan-ikan yang berenang lincah dalam kolam di hadapan kami. Mungkin tingkah mereka sangat menghiburnya.

"Apa kabar, May?" tanyaku mengawali obrolan.

"Alhamdulillah, merasa lebih baik," jawabnya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari ikan hias.

Angin sore sesekali menyapa sembari memainkan kerudung lebarnya. Pemandangan yang membuatku ingin mengulurkan tangan untuk membelai kepalanya.

"Lain kali jangan kayak gitu lagi," katanya yang membuat alisku bertaut. "Abang mengambil resiko yang terlalu besar. Kalau terjadi apa-apa sama Abang, aku yang bakalan merasa bersalah seumur hidup."

Aku memandangnya tanpa kedip sembari berusaha mencerna kata-katanya. "Jadi, Abang harus ngebiarin Maysa terbakar di dalem? Kamu pikir, kalau sampai terjadi hal buruk ke Maysa, Abang enggak merasa bersalah seumur hidup?"

Dia menoleh cepat dengan kelopak yang sudah digenangi kaca-kaca. "Kenapa harus merasa bersalah?" tanya Maysa setelah ia menyeka kilat sudut matanya.

Aku diam sesaat, memandangi tanaman-tanaman hijau yang tertata rapi di sekitar kolam. Menambah kesan sejuk, menyegarkan mata. "Maysa juga, kenapa harus merasa bersalah?" tanyaku dengan seutas senyuman.

Tidak ada jawaban. Pertanyaanku dibiarkan mengambang. Detik demi detik selanjutnya kami saling diam. Aku tenggelam dalam kecamuk di dada sendiri. Mungkin Maysa juga.

"Sejak kapan Abang tahu aku ngajar di situ?" tanya Maysa usai obrolan kami terjeda beberapa menit lamanya.

"Sejak ada yang nyebut-nyebut nama Ustazah Maysa."

"Terus?"

"Apanya yang terus?" Aku memandangnya dengan alis berjingkat sebelah. Menyadari ada sebuah harapan di balik pertanyaan itu.

Maysa menoleh sebentar lalu menggeleng. "Enggak papa."

Aku mengulum senyum, menyaksikan perubahan yang cepat di riak wajahnya.

"May," panggilku lirih.

Maysa kembali menoleh, menatapku. "Kenapa?"

"Kacamata baru, ya?" Aku menunjuk kacamata berbingkai hitam yang ia kenakan.

"Iya."

"Silinder berapa?"

Jujur, aku ingin menabok pipi sendiri. Bukan ini yang ingin kutanyakan. Kenapa berputar-putar terus dari tadi?

"Tiga setengah sama tiga tujuh lima."

Bingung bagaimana mau melanjutkan obrolan yang enggak banget ini, aku hanya merespons dengan anggukan. Setelah beberapa saat mencari bahan percakapan lain, aku kembali bicara, "Ikannya bagus-bagus, ya, May?"

"Iya." Maysa menjawab dengan nada sangat datar.

Aku mengikuti pergerakan ikan-ikan dengan lensa mataku. "Kalau misal kita bikin kolam ikan di depan rumah, kamu bakalan suka, nggak?"

"Hm?"

Aku menoleh Maysa yang sudah menatapku penuh tanya. "Ya, Abang buatin kolam ikan di sebelah rak anggrek. Kayaknya bakalan bikin kamu betah duduk di teras."

"Maksudnya?"

Aku menghirup udara dalam-dalam. Lalu menata letak duduk, sedikit menyerong. Menghadap wanita anggun di atas kursi roda. "Abang ingin Maysa kembali. Pulang ke rumah Abang lagi."

Ia menatapku sejenak lalu menunduk, memainkan jemari lentiknya yang dari tadi ingin kusambar untuk digenggam. "Kembali dan pulang? Sebagai apa?" tanyanya lirih.

"Sebagai seseorang yang akan melengkapi separuh agama Abang. Istri."

Terdengar desahan panjangnya. Seperti mengurai sesuatu yang berdesakan dalam dada. "Kenapa ingin saya kembali?"

"Karena Maysa sudah membawa pergi separuh hati ini."

Maysa mengangkat wajah, melirikku sekilas. "Bukan karena takut menjalani proses sidang cerai yang ribet?" Ada rintik air mata membersamai pertanyaannya.

Ya Allah .... Jadi alasan Maysa tidak menjawab pesan itu karena merasa .... Argh! Bodoh! Kenapa aku tidak peka dengan perasaannya?

"Tentu bukan itu alasannya, Maysa ...," jelasku dengan nada merasa sangat bersalah.

Kami berdua kembali diam. Maysa beberapa kali kedapatan menyeka pipinya. Andaikan masih halal, May ..., biar Abang yang melakukannya.

"Abang yakin akan menjalani pernikahan yang HAMBAR itu lagi?" Ia sengaja memberi penekanan khusus pada kata hambar. Mungkin, sebagai bentuk luapan kekecewaan yang terpendam berbulan-bulan.

"Hambar." Aku mendengkus lirih. "Lalu mendadak jadi pahit ketika kamu pergi."

Maysa memelintir kepala dengan cepat. Bibirnya sedikit terbuka, lalu berkedut-kedut, seakan mau bicara. Tapi ia lekas memalingkan muka.

"Rey, Maysa adalah wanita yang bisa memilih. Jadi, jangan karena udah merasa jadi pahlawan, kamu yakin bakalan diterima lagi. Ingat, kamu udah melukai perasaannya. Dan sebagai sesama wanita, Mama tahu gimana rasanya. Sakiiit banget."

Ucapan Mama tadi pagi kembali terngiang. Saat kuutarakan niatku untuk rujuk dengan Maysa.

Sebenarnya Mama agak berlebihan, sih. Aku sama sekali tidak merasa jadi pahlawan. Semua terjadi begitu cepat. Rasa takut kehilangan lah yang membuatku segera bertindak.

"Dan Mama yakin, di luar sana banyak laki-laki yang mau sama dia," lanjut Mama yang kesannya seperti menelanjangi keberanian putranya. "Banyak-banyak berdoa," pesannya.

"Bagaimana saya bisa tahu kalau permintaan Abang sungguh-sungguh?" Pertanyaan Maysa menarik pikiranku kembali ke taman ini.

Aku tersenyum sembari merogoh saku jaket, lalu mengeluarkan sebuah kotak beludru warna merah.

"Apakah ini sudah cukup untuk membuktikan kesungguhan Abang?" Aku membuka kotak berisi sebuah cincin emas bermata putih. Lalu meletakkan benda itu di atas bangku dan menggesernya agar lebih dekat dengan Maysa.

Maysa menoleh. Menatap cincin itu beberapa saat, lalu berganti memandang wajahku yang menunjukkan pendar mata kesungguhan. Butuh waktu agak lama untuk mendapat jawaban. Tidak mengapa, menunggunya menangis selama lima belas menit itu bukan pekerjaan yang memberatkan. Hanya saja, mendengar isakannya berkali-kali rupanya cukup menyiksa.

Kecamuk apa yang ada di batinmu, Maysa?

Mungkin, menerimaku kembali adalah pilihan berat. Karena apa yang kulakukan dulu, tidak hanya menyisakan luka yang terus membekas seumur hidupnya, tapi juga trauma. Sangat dalam. Butuh waktu panjang untuk menyembuhkan.

Atau mungkin, telah terukir nama lelaki lain di hatinya. Tapi dia tidak ingin membuatku terluka. Bagaimanapun aku tahu sifatnya, tidak ingin menyakiti siapapun. Meski orang tersebut telah membuatnya berkali-kali menelan kecewa.

Tangan Maysa terulur, menutup kotak itu lalu menggesernya ke arahku. Pemandangan yang membuat napasku terhenti selama beberapa waktu. Ya, aku tahu jawabannya meski ia tidak berkata-kata. Aku pun menunduk, merasakan hantaman demi hantaman dalam dada.

"Kalau memang Abang sungguh-sungguh ...," ucapnya yang membuatku segera mengangkat muka, "segera nikahi saya."

Aku menatapnya lekat.

"Gunakan cincin itu sebagai maharnya." Maysa menunduk, menyembunyikan senyum tipis yang kelewat manis.

Terkejut, tubuhku hampir saja melompat.

Oh Allah, aku ingin bersujud untuk mensyukuri kemenangan cinta.

~ END ~