Jumat, 15 Mei 2020

USAI BERCERAI - 3

USAI BERCERAI - 3

OLEH : DEWI FATIMAH

Jika ada orang lain yang paling terluka karena perceraian ini, mungkin itulah Mama. Aku perlu mengatur strategi bagaimana cara menyampaikan kabar mengejutkan ini. Intinya, jangan sampai Mama marah besar atau yang paling buruk ... jantungan. Meskipun selama ini Mama sehat-sehat saja, tapi mengingat punya riwayat hipertensi, aku jadi worry.
Itulah kenapa, aku belum berniat melayangkan gugatan cerai melalui Pengadilan Agama. Menunggu waktu yang tepat. Entah kapan.
Lagipula besok ada dinas luar hingga dua pekan ke depan. Ada yang harus disiapkan. Berkas-berkas penting dan tentu saja pakaian.
Pandanganku terpaku pada sebuah koper di sudut kamar. Biasanya, Maysa yang menyiapkan seluruh keperluan dinas luar dengan cekatan. Sebelum bertindak, dia akan menanyakan baju apa saja yang dibutuhkan, jumlahnya berapa, warnanya apa, dan ... semuanya diurutkan agar aku tidak perlu membongkar dan membuatnya berantakan.
Lalu sekarang, aku harus melakukannya sendirian? Keadaan yang membuatku bertanya, apakah benar keputusan menceraikannya?
Aku mengurut kening. Berharap hal-hal rancu yang mengganggu otak selama hampir 36 jam belakangan ini akan sirna.
Dari luar terdengar suara Maysa menggumam. Melantunkan ayat-ayat suci dengan suara pelan. Menarik perhatianku untuk mengintipnya dari kaca jendela. Bibirku melengkung tipis mendapati Maysa sedang asyik menyiram anggrek-anggreknya. Ya, dia hobi mengoleksi bunga yang satu itu.
"Kenapa suka anggrek?" tanyaku saat pertama kali menemaninya ke toko bunga. Mata sipitnya agak membulat memandangi bunga-bunga anggrek yang berjajar rapi di atas rak.
Setelah menyuguhkan senyum manis, Maysa berkata, "Dulu, Almarhumah Ibu suka anggrek."
Ibunya meninggal sejak dia masih SMP. Beruntungnya Maysa, dia punya papa yang kaya raya dan ibu tiri yang menyayanginya. Sehingga dia terurus dengan baik hingga dewasa. Berbeda dengan Ratu yang memang agak terlunta-lunta.
"Cuma karena itu?" Aku melanjutkan.
Dengan mata berkilat senang, Maysa kembali menjawab, "Ya. Apa-apa yang Ibu suka, aku juga akan suka. Dan bunga anggrek memang terlalu cantik untuk enggak disukai. Gimana ya, bentuk bunganya itu eksotis. Dia sebetulnya sederhana, tapi kesannya mewah dan elegan. Terus bunganya awet. Cara hidupnya juga unik. Kalau bunga-bunga yang lain hidup dengan media tanah, dia malah suka nempel di pohon-pohon. Tapi dia enggak jadi parasit. Istilahnya, numpang hidup tapi enggak merepotkan."
Numpang hidup tapi enggak merepotkan?
Dulu terdengar biasa, tapi kini terasa berbeda. Senyumku mengembang seiring rasa hangat yang mengalir di wajah ini.
*
Tugas dinas luar yang akan dikerjakan oleh tim berkaitan dengan audit K3S--Kontraktor Kontrak Kerja Sama. Obyek pemeriksaannya adalah sebuah perusahaan minyak milik Jepang yang beroperasi di Blok Kangean. Sebuah kepulauan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Sumenep, Madura. Dalam pelaksanaannya, kami bekerjasama dengan Dirjen Pajak dan Migas.
Tim yang bertugas kali ini terdiri dari enam orang. Satu orang pengendali teknis, satu orang ketua tim, dan empat lainnya--termasuk aku--adalah anggota tim. Tugas yang kata orang merupakan lahan basah. Entah maksudnya bagaimana, karena bagiku semua tugas itu sama. Harus dikerjakan dengan profesional.
Surabaya menjadi kota tujuan pertama tim kami. Ada data yang dibutuhkan dari kantor yang mengurusi migas di Jawa Timur.
Kepala kantornya menyambut kami dengan keramahan khas orang Jawa. Laki-laki dengan kisaran usia 50 tahun. Tahu bahwa kami berenam jarang ke Jawa Timur, beliau mengajak kami makan malam di rumah makan yang khusus menyediakan hidangan khas provinsi paling timur pulau Jawa ini. Salah satu menu andalannya adalah rawon. Rasa kuahnya manis, gurih, dan bila dicampur sambal dan jeruk nipis, semakin membuat semangat makan.
Kebetulan, beliau mengajak anak dan istri. Dan yang cukup membuatku tercengang, istrinya bercadar. Seorang yang punya jabatan tapi tidak sungkan mengenalkan istrinya yang hanya kelihatan mata dan telapak tangan. Aku salut. Sungguh. Bahkan aku belum pernah mengenalkan Maysa ke teman-teman kantor karena khawatir dengan stigma negatif soal istri yang pakaiannya terlalu tertutup seperti itu.
"Sudah punya anak berapa, Pak?" Pertanyaan lelaki itu ditujukan padaku. Mungkin karena aku yang terlihat paling muda di sini.
Terus terang, aku agak gelagapan. Seakan mendapat ujian dadakan dan tidak ada persiapan apapun untuk mencegah apalagi menyiapkan jawaban.
"Em ... belum ada, Pak," jawabku singkat.
"Pak Reyhan ini baru menikah, Pak. Lima bulan atau enam bulan lalu, ya, Pak Rey?" Ketua Tim menimpali sembari menyikut lenganku main-main.
"Pengantin lumayan baru, to?" jawab lelaki di hadapanku disusul tawa beberapa orang, termasuk si wanita bercadar. "Kerja apa istrinya?" tanya beliau lagi.
Istri? Apa Maysa masih boleh kusebut istri?
"Em ... dia punya toko kue," jawabku setelah menenangkan hati yang sedikit gelisah.
Gelisah, karena aku tahu ada dusta terselip di antara ucapanku.
"Wah, enak, ya? Kalau punya usaha sendiri bisa leluasa atur waktu untuk ngurusi keluarga. Kalau istri saya ini, dulu kerja kantoran, Pak. Begitu nikah, udah, saya suruh resign saja. Fokus ke keluarga, kata saya. Apalagi kerjaan saya kan, kebanyakan di luar, ya. Kasihan nanti kalau punya anak, ditinggal bapak-ibunya terus."
Aku tersenyum canggung.
Wanita bercadar itu kemudian bangkit saat mendapati anaknya yang paling bungsu--kira-kira berusia enam tahun-- menangis karena jatuh kesandung kursi. Cara menenangkan tangis anak laki-laki itu cukup menarik perhatianku.
"Oh, Adik kesandung kursi, ya? Lain kali hati-hati, ya? Sabar .... Mana yang sakit?"
Seketika, kelembutan itu mengingatkanku pada sosok Maysa.
Aku menghela napas, berharap kesesakan ini pergi.
[May, rumah aman?]
Menjelang subuh, aku mengirim pesan untuk si wanita salihah. Sekedar basa-basi. Atau memang ada rindu yang menyusup dalam hati? Entahlah.
[Iya. Alhamdulillah.]
Hanya itu dan cukup membuat hati ngilu. Berharap mendapatkan jawaban panjang, tapi cuma sesingkat itu.
Aku pun keluar kamar, pergi salat subuh di masjid dekat hotel. Heran? Aku juga.
Sejak mengucapkan kata cerai, entah kenapa kenormalan hidupku mulai bergeser. Bahkan bangun subuh menjadi rutinitas baru.
Usai menunaikan ibadah yang begitu syahdu, aku duduk termenung. Rupanya sedamai ini salat subuh berjamaah di masjid. Ya Allah, selama ini ke mana saja aku? Tak terasa air mata haru menitik di sudut netra. Ingin kukatakan pada Maysa bahwa pagi ini malaikat telah mencatat, Reyhan tidak bangun kesiangan! Ah, aku jadi senyum-senyum sendiri.
Beberapa menit kemudian, kajian rutin di mulai. Hatiku bersorak entah kenapa. Yang jelas ada rasa bahagia yang sulit didefinisikan dengan kata-kata.
Istri yang menyejukka mata. Tema yang diangkat pagi ini. Seketika mengingatkanku pada Maysa Al-Mahira. Sialnya, aku mengikuti kajian sambil terkantuk-kantuk. Mungkin karena tadi malam tidur larut karena terpaksa begadang memasukkan data-data yang akan diperiksa.
"Ustaz, saya sudah lima tahun menikah. Saya memang baru belajar agama beberapa bulan belakangan ini. Hati saya juga baru tergerak untuk menutup aurat. Tapi masalahnya, suami saya tidak setuju. Apa yang harus saya lakukan, Ustaz? Bukankah saya juga harus taat pada suami?" Salah satu pertanyaan hadirin melalui selembar kertas yang dibaca oleh Sang Ustaz. Cukup menarik. Mataku segar kembali.
"Subhanallah," Sang Ustaz menghela napas, "memang masih banyak suami yang seperti ini ya, Jamaah. Banyak sekali di luar sana. Suami yang dikatakan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dengan sebutan dayyust. Apa itu dayyust? Tidak punya rasa cemburu. Dan ini dicela oleh agama.
"Pak, laki-laki yang bener, laki-laki yang saleh itu, harusnya cemburu melihat istrinya keluar rumah tanpa menutup aurat dengan sempurna. Cemburu dong, aurat itu kan harusnya dipersembahkan untuk suami seorang, bukan untik dilihat laki-laki lain yang tidak ada hak."
Mempersembahkan aurat untuk suami seorang?
"Yang lebih parah lagi, seperti ini, Jamaah. Melarang istrinya berhijab. Alasannya pun macem-macem. Enggak kelihatan kalau cantik, enggak kelihatan kalau seksi. Hei, Pak! Cantik dan seksinya istri antum, itu hanya antum yang berhak menikmati. Jangan disodorkan sama orang lain!" Sang Ustaz bicara dengan nada tinggi.
"Kalau suami saya melarang, gimana, Ustaz? Bukankah istri harus taat?" Ustaz berjenggot lebat itu melanjutkan, "kata Nabi, tidak ada ketaatan pada maksiat. Dan buka aurat di luar rumah, di hadapan lelaki yang bukan suami dan mahramnya itu maksiat. Terus gimana, Ustaz kalau suami saya marah?
"Bilang pelan-pelan sama suaminya. Jelaskan dengan lembut kepada suaminya. Tentang urgensi menutup aurat bagi wanita. Memang menghadapi suami model begini harus sabar, Bu. Dalam surah At-Taghabun, Allah telah memberi peringatan, "Yā ayyuhalladziina aamanuu inna min azwājikum wa aulādikum 'aduwwal lakum. Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian dari istri-istrimu dan anak-anakmu menjadi musuh bagimu. Ini berlaku juga untuk para istri. Bahwa suami itu ada yang jadi musuh. Musuh dalam artian menjalankan ketaatan kepada Allah."
Mataku memejam. Apakah aku telah menjadi musuhnya Maysa?
"Dan Allah punya solusi untuk itu. Apa? Kata Allah, fahdzaruuhum. Ha-da-pi. Hadapi, bukan tinggalkan. Ibu punya suami yang modelnya kayak tadi, hadapi, Bu. Hadapi dengan sabar. Hadapi dengan lembut. Kasih pengertian. Doakan dia semoga Allah kasih hidayah. Supaya Allah melembutkan hatinya."
Maysa ... dia begitu sabar menghadapi kelakuanku. Menasehati dengan lembut meskipun kalau sudah geregetan, emosinya ikut keluar. Tapi baiknya lagi, ia akan segera minta maaf.
"Abang sudah rida?" Pertanyaan yang sering keluar dari bibirnya.
Aku menghela napas. Bagai menemui sumber mata air di tengah padang yang gersang. Bagai diguyur hujan di tengah kemarau panjang. Mungkin begitulah gambaran jiwaku saat ini.
*
Pesawat kecil berkapasitas 11 penumpang terbang melintasi lautan lalu mendarat mulus di landasan bandara, di tengah pulau Pangerungan.
Tugas baru dimulai. Pemeriksaan fisik pada mesin pengolah minyak mentah yang serupa tangki-tangki raksasa. Juga memeriksa pipa gas--melalui video yang direkam oleh robot penyelam--yang langsung tersambung pada mesin pengolahan di Perusahaan pengolahan minyak milik PT. Pertamina di Gresik sana. Dan jujur, aku takjub. Begitu besarnya effort yang dibutuhkan oleh perusahaan asing untuk mengeksploitasi minyak bumi di Indoensia.
Ya, mereka butuh modal sangat besar.
Maka jangan heran jika yang mengeksploitasi minyak bumi di Indonesia rata-rata perusahaan asing. Itu tadi alasannya, modal yang dibutuhkan sangat besar. Negara kita tidak ingin mengambil resiko dengan mengorbankan APBN--yang memang terbatas--untuk melakukan eksplorasi maupun eksploitasi. Karena kegiatan eksplorasi sendiri tidak jarang berujung pada resiko fatal berupa pembuangan dana yang cukup besar.
Perusahaan minyak yang beroperasi di Blok Kangean ini saja, mengaku pernah "membuang" dana triliyunan rupiah di lepas pantai. Karena pada saat tahap eksplorasi, minyak yang diprediksi akan dihasilkan tidak sebanding dengan modal yang digelontorkan. Terpaksa, proyek tidak dilanjutkan ke tahap eksplorasi.
Sore setelah cek fisik hari pertama usai, aku memisahkan diri dengan tim. Berjalan menyusuri pantai. Tapi jangan dibayangkan dengan pasir putih dan ombak yang dipenuhi buih-buih. Ini perusahaan, bukan tempat wisata. Namun cukup oke dijadikan tempat menyendiri sembari menikmati belaian angin sore.
Mengusap layar ponsel, berharap ada satu pesan saja dari seseorang. Entah Maysa atau Ratu. Keduanya ... seperti berkedudukan seimbang di hatiku.
Pesan Maysa jelas tidak ada dan pesan Ratu bertumpukan sejak pagi tadi.
Dia hanya mengabarkan perkembangan masalah yang ia hadapi. Salah satunya,
[Pekan depan, sidang perceraian kami akan digelar.]
Baguslah. Setidaknya dia bisa lepas dari lelaki zalim seperti Sony.
[Semoga lancar, Ra. Aku di luar kota. Sampai pekan depan. Doa dari sini untuk kamu. Kalau butuh apa-apa jangan sungkan bilang ke aku.]
Kembali kumasukkan ponsel ke dalam kantong celana, lalu menikmati pemandangan biru yang terhampar di hadapan. Pemandangan yang kurindu. Ah, entah kapan terakhir kali pergi ke pantai. Mungkin tiga tahun lalu ketika termehek-mehek berpisah dengan Ratu. Itupun di Pantai Ancol. Setelah itu, semua tempat hiburan rasanya hambar. Bagaimana mau berkesan jika dinikmati dengan hati yang separuhnya seakan mati?
Lalu setelah menikah dengan Maysa, kami belum pernah liburan ke mana-mana. Dia juga bukan tipikal wanita yang suka keluar rumah. Kecuali untuk hal-hal yang sangat penting. Rutenya sehari-hari hanya seputar rumah-toko-supermarket. Kadang-kadang tukang bubur ayam langganan di komplek atau sesekali ke toko buku dan toko bunga.
Ponsel berdering. Ah, rupanya Mama. Setelah terpaku sejenak pada layar karena ragu-ragu untuk menjawab, akhirnya kugeser ikon warna hijau.
"Assalamu'alaikum, Ma."
"Wa'alaikumussalam warahmatullah. Rey, Maysa di mana?"
"Di rumah, mungkin. Reyhan lagi dinas luar di Jawa."
"Nomor Maysa enggak aktif."
Mati aku! Bagaimana kalau Mama bertanya kapan terakhir kali kami berkomunikasi?
"Eng ... kehabisan batrai mungkin. Ada apa sih, Ma?"
"Ini, Mbak Mita mau pesen kue tart ke dia. Sama jajanan pasar. Untuk syukuran kenaikan pangkat Mas Haidar. Dianya tanya ke Mama kenapa nomor Maysa enggak aktif. Sejak siang tadi, loh. Masa habis batre hampir seharian?"
Mbak Mita nama kakakku dan Mas Haidar adalah suaminya.
"Eng ... kenapa Mbak Mita enggak nelpon tokonya aja, Ma?"
"Jam segini mah, udah tutup."
Menilik arloji, jam setengah enam sore. Toko Maysa tutup jam empat.
"Rey, Maysa baik-baik aja, kan?"
"Em ... i-iya, baik-baik aja. Kok Mama tanya gitu?"
"Ya enggak apa-apa. Bilang ke Maysa, Mama kangen."
Kakiku yang terbungkus sneaker hitam menyaruk-nyaruk pasir. Melemaskan otot-otot kaki yang mendadak gemetar karena lapar. Melawan kesesakan batin sendiri, rupanya cukup menyedot energi.
"Rey ...."
"Iya, Ma?"
"Udah, ya? Hati-hati. Assalamu'alaikum ...."
"Wa'alaikumussalam warahmatullah."
Setelah telepon ditutup, kubiarkan ponsel dalam genggaman. Aku memutar-mutar benda hitam ini sambil memikirkan cara untuk menyampaikan masalah kami pada Mama. Tidak bisa membayangkan betapa kecewanya wanita yang telah melahirkanku itu. Apalagi, Mama teramat sayang pada Maysa.
"Maysa itu anaknya lemah lembut, mandiri. Pinter ngaji. Dan yang paling penting, dia paham ilmu agama," ucap Mama dengan mata berkilau kagum.
"Mama ini kan, udah pensiun, Rey. Mungkin bentar lagi bakalan mati--"
"Ma ...," protesku waktu itu yang disambut tawa pendek Mama.
"Maksud Mama, enggak ada lagi yang dibutuhin orang yang sudah mati dari anak-anaknya kecuali doa. Dan kalau anaknya atau cucunya saleh-salihah, Mama yakin akan jadi investasi yang enggak putus-putus sampai kiamat nanti."
Itulah alasan utama kenapa Mama menyodorkan seorang Maysa untuk menjadi istriku. Berharap anaknya yang agak bandel ini ketularan salehnya, lalu dari pernikahan ini lahir keturuan saleh dan salihah. Dan siapa sangka Maysa mau. Padahal aku yakin, di luar sana banyak laki-laki baik yang mau menikahinya. Kenapa pilih aku?
Sampai sekarang, aku belum menemukan jawaban itu. Setiap kutanya, Maysa hanya tersenyum lalu berkata, "Aku merasa, Abang adalah jawaban atas doa-doaku."
Aku? Jawaban atas doa-doanya? Waktu itu bahkan hingga kini, aku tidak percaya. Makanya kukatakan bahwa aku adalah pelarian agar dia bisa move on dari calon suaminya yang telah meninggal.
Namun aku tahu, Maysa belum pernah berdusta. Satu kali pun, di hadapanku.
*
Dua pekan berlalu dengan baik. Saatnya pulang, melepas kerinduan. Entah pada siapa atau bahkan apa. Yang jelas, berada di kota ini lagi, jarak yang rasanya terbentang sekian lama dan jauh, terhapus begitu saja.
Ah, kadang-kadang perasaan kita sendiri menjadi absurd dan membingungkan.
Usai mandi sore, aku membongkar isi koper. Mengeluarkan baju-baju kotor dan beberapa bungkus buah tangan. Camilan untuk Mama dan Papa juga sebuah botol berisi bibit anggrek untuk ... Maysa.
Maysa?
Entahlah, waktu kembali ke Surabaya, menemukan toko bunga dan menjual anggrek yang katanya langka. Setelah dilihat-lihat, Maysa memang belum punya. Karena tidak bisa membawa satu pot yang sudah besar dan berbunga, terpaksa hanya membawa bibitnya.
Aku keluar kamar. Melirik sebelah. Pintunya tertutup rapat seperti biasa.
Setelah mengumpulkan segenap keberanian, aku mengetuk pintu itu perlahan.
Satu kali ... dua kali ... hingga yang ketiga, baru terdengar bunyi handle pintu berputar. Membuat irama jantungku seketika berantakan. Dan begitu pintu terbuka ....
Ya ampun! Wajah Maysa pucat sekali!
"May, kamu sakit?" tanyaku sambil meletakkan botol di bawah kaki.
"Abang bisa tolong antar saya ke rumah sakit?" pintanya dengan suara lemah dan tubuh gemetar. Satu tangannya bertumpu pada tembok. Menopang tubuh yang hampir roboh.
Tanpa banyak berpikir, aku menggendong tubuhnya lalu memasukkannya ke dalam mobil. Setelah Maysa duduk dengan nyaman, aku melesat kembali ke dalam untuk mengambil dompet dan ponsel. Dua benda penting yang harus dibawa.
Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Menerobos kepadatan lalu lintas Jakarta di akhir pekan. Yang kuinginkan hanya satu. Maysa segera mendapatkan pertolongan.
Bertahanlah, Sayang ....
-x-