Jumat, 15 Mei 2020

USAI BERCERAI - 9

USAI BERCERAI - 9

OLEH : DEWI FATIMAH

"Han ..., tolong ...." Suara Ratu tersendat-sendat di telepon.

Ya, ia baru kembali menghubungi setelah satu bulan menghilang. Aku pun tidak berniat mencari tahu keberadaannya. Karena aku yakin, dia akan kembali muncul ketika butuh. Lalu hari ini, terbukti. Ck! Aku jadi merasa hanya dimanfaatkan saja.

"Kenapa, Ra?" tanyaku memberi kesan biasa saja. Kedua mataku tetap fokus pada kumpulan data di layar laptop, sedangkan tangan kananku memainkan pointer.

"Bastian masuk rumah sakit."

Pergerakan tanganku terhenti. Aku menghela napas perlahan. "Udah ngasih tahu Sony?"

Tidak ada jawaban, kecuali suara isakan diselingi susutan ingus.

Aku menunggu. Sejak frasa playing victim mencuat dari mulut mantan suaminya, rasa empatiku pada Ratu mulai pudar.

Hingga hampir dua menit, akhirnya kesabaranku habis. "Ra?"

"Han ... aku butuh kamu."

Aku menganjur napas. Ya, sudah kuduga. "Aku lagi banyak kerjaan, Ra. Maaf."

Setelah hening beberapa saat, Ratu menimpali, "Oke. Maaf udah ganggu." Dan telepon begitu saja ditutup.

Berurusan dengan wanita memang serumit ini. Aku mengurut kening sembari memandangi sederet angka berawalan +62. Aku pun mengirim pesan pada nomor itu.

[Jam istirahat aku usahakan ke sana. Di rumah sakit mana?]

Ratu mengirimkan titik lokasi sebuah rumah sakit di kawasan Jakarta Pusat lengkap dengan nomor ruangan di mana Bastian dirawat.

Sesuai janji, aku meluncur ke sana di jam istirahat. Begitu tiba, Ratu menghambur, memelukku. Namun aku mendorong tubuhnya perlahan-lahan. Aku tahu mendekap yang bukan mahram adalah perbuatan yang dilarang.

"Maaf ...," lirihnya menyadari aku tak berkenan.

"Sakit apa?" tanyaku seraya melangkah ke ranjang Bastian. Balita itu tergolek lemas. Ada selang infus yang dibebat perban di tangan kanan. Ia tidur lelap dengan mulut sedikit terbuka. Terlihat polos sekali. Sungguh kasihan jika jadi korban perceraian.

"Demam tinggi. Terus tadi pagi kejang. Makanya aku bawa ke sini."

"Apa kata dokter?"

"Belum bisa nyimpulkan. Nunggu hasil lab."

Aku mengusap kepala Bastian. Panas. Kekhawatiran Sony waktu itu .... Oh, bisa jadi, dia rindu papanya.

"Sony udah tahu?" tanyaku, menoleh wanita itu.

Sebagaimana di telepon, Ratu hanya diam ketika nama itu kusebut. Aku pun mendecak malas. "Ke mana aja sebulan ini?" Aku bertanya lagi.

"Enggak ke mana-mana. Cuma cari duit," jawabnya. Terkesan sekenanya.

"Bastian?"

"Ada pengasuh yang jaga."

"Kenapa nomornya enggak aktif? Sony nyariin kamu. Kangen sama anaknya."

Ratu tetap diam. Ia lalu melangkah menuju sofa dan mengempaskan tubuh di sana.

"Kamu sengaja mangkir dari papanya Bastian?"

Ratu tersenyum miring. "Itu urusanku."

Ok, fine! Jawaban itu benar-benar memancing emosi. Aku pun mengangguk-angguk. Ada rasa getir menyentil hati. "Oke. Kalau gitu, jangan pernah libatin aku lagi."

Kesal, aku beranjak keluar.

"Han, tunggu!" Ia berdiri mencegah, menghadangku di depan pintu. "Oke. Aku akan jelasin semuanya."

Sorot matanya menunjukkan ketakutan. Entah karena tidak ingin kutinggal atau karena ada masalah yang tersimpan.

Setelah kami duduk di sofa, Ratu mulai memberi penjelasan. "Aku berusaha merintis usaha jual baju. Pake uang iddah. Tapi gara-gara itu, aku udah enggak sanggup lagi nyewa apartemen. Kami pindah. Ngekos. Baru satu mingguan. Terus, Bastian sakit."

Aku meraup muka. "Kenapa Bastian belum kamu pulangin? Sony khawatir."

"Pulangin ke mana? Dia ada sama aku. Apa masih butuh pulang?" Ratu mulai emosi.

"Bukannya kalian sepakat berbagi hari?"

"Han, Bastian masih balita. Dalam Islam, hak asuh ada di aku sepenuhnya selama aku belum nikah." Dia bicara dengan penuh penekanan.

Aku tersenyum geli. Terdengar lucu jika aturan agama dipilih seenaknya begitu. "Dan menurut Islam, seorang wanita yang baru ditalak, harusnya menjalani masa iddah di rumah suaminya." Seperti Maysa, lanjutku dalam hati. Sayangnya, dia menjalani masa itu hanya sekejap mata.

Ratu terkejut. Kami pun saling tatap. Aku tahu ada sorot tak suka dalam matanya.

"Kamu bukan Reyhan yang aku kenal," katanya setelah memalingkan muka. Kedua matanya berkaca-kaca.

Aku tersenyum lebar, nyaris tertawa. "Ya. Kamu benar." Setelah menghela napas, aku mengajukan pertanyaan, "Jadi, apa yang kamu harapkan dari Reyhan yang sekarang?"

"Kamu balikan sama Maysa?" tanya wanita di sampingku setelah beberapa kali menyeka pipinya.

Aku tertawa lirih. "Bukan urusanmu," tuturku sengaja membalas perkataannya.

"Papa ... Papa ...." Bastian mengigau sambil merintih, membuat Ratu segera bangkit lalu menenangkan anaknya.

"Makasih udah dateng," ucapnya padaku, beberapa saat setelah Bastian tenang. Tanpa sedikitpun menoleh.

Aku menyentak napas lalu bangkit. "Hubungi Sony. Bastian butuh papanya. Lagian, anak sekecil dia, pasti serba membatasi ibunya."

Ratu menoleh seketika. Memandangku dengan mata berkilat marah. "Apa maksud kamu?"

Aku mengedikkan bahu. "Bukannya selama ini kamu merasa terkekang gara-gara Bastian?"

Ia melangkah lebar ke arahku. "Sony pasti udah bicara macam-macam tentang aku." Ia mencari kebenaran di kedua mataku.

"Jangan suuzon dulu. Dia cuma bilang, sejak Bastian lahir, kamu berubah. Stres karena merasa keberadaan Bastian serba membatasi. Bahkan kamu sering marah-marah ke dia."

Pundak Ratu naik-turun, menandakan ada gejolak hebat bersarang di dadanya. Lalu tak berselang lama, tangisnya meledak. Setengah berlari ke sofa, mengempaskan tubuh di sana.

"Emang enggak ada yang bisa ngertiin aku. Enggak Sony, enggak kamu, enggak mertua aku. Semuanya sama aja!" Ratu menoleh, melanjutkan, "Kalian enggak paham gimana kondisi psikis seorang wanita setelah melahirkan. Apalagi si Sony sama mertua aku itu. Mereka pikir, ngurusin bayi yang cuma bisa nangis itu gampang apa? Aku dikurung di rumah, diminta fokus ngurus Bastian. Disuruh ninggalin butik. Cuma sesekali aja keluar. Siapa yang enggak stres, Han?"

Aku mengembuskan napas kasar. Lalu duduk di kursi sebelah ranjang. Bukannya hendak membanding-bandingkan. Tapi Mbak Mita juga fokus sama bayinya setelah melahirkan. Bahkan sampai resign dari tempatnya bekerja demi anaknya. Mama yang notabene memilih tetap berkarir, selalu mengambil cuti di luar tanggungan negara agar bisa lebih lama bersama bayinya. Apakah kondisi setiap wanita memang jauh berbeda?

"Aku kuwalahan merawat Bastian sendirian. Sementara si Sony itu tahunya cuma kerja, pulang, main sama Bastian sebentar, terus tidur. Mertuaku tahunya cuma cucunya gemuk, sehat, pintar. Mereka enggak peduli sama perjuangan aku. Aku minta dicariin pengasuh. Tapi mereka bilang, anak itu lebih baik diasuh ibunya. Setelah aku sering marah-marah, mereka baru sadar. Baru nyariin pengasuh, baru ngizinin aku ke butik."

Ratu mengusap air matanya dengan kasar. Seakan melampiaskan emosi yang masih mengakar. "Aku akui, aku salah. Salah udah marah-marah ke anak sekecil itu. Dan sekarang, aku pengen menebus semua kesalahan aku."

"Dengan sembunyi dari papanya Bastian?"

"Aku cuma pengen, Bastian enggak terlalu lengket sama papanya."

Aku menggeleng. "Kamu keliru, Ra. Enggak gini caranya."

"Enggak peduli."

Pintu diketuk seseorang. Ratu lekas menghapus seluruh jejak air mata yang tersisa di pipinya. Aku bisa menerka siapa yang datang. Maka, aku bangkit untuk menyambutnya.

Sony.

Kejutan yang luar biasa, memang. Ratu sampai tak bisa berkata-berkata.

Aku pun pamit. Mereka butuh bicara berdua. Dengan kondisi Bastian yang terkulai begitu, aku yakin ego masing-masing bisa dikurangi. Dan kupikir, masalah dalam rumah tangga mereka cuma satu. Komunikasi.

"Makasih banyak, Han," ucap Sony di telepon tadi. Sewaktu kuberi tahu di mana posisi Bastian dan Ratu.

Aku tersenyum, lega. Ada kepuasan tersendiri ketika bisa membantu Sony menemukan anaknya. Aku yakin, Sony tidak zalim seperti dugaanku dulu. Dia bilang, rekening yang dibekukan juga butik yang sengaja ditutup, itu semata-mata untuk membuat wanitanya kembali pulang. Juga insiden pemukulan itu, Sony mengaku tidak sengaja. Ia berusaha menahan Bastian yang hendak direbut ibunya. Padahal Bastian sudah berontak tidak mau dibawa.

Memang benar kata para ulama, dalam persoalan rumah tangga, jangan hanya mendengarkan dari satu pihak. Sekalipun mengadu sambil menangis tersedu-sedu. Karena air mata belum tentu menunjukkan kebenaran. Tangisan saudara-saudara Nabi Yusuf contohnya. Mereka pulang sambil menangis, mengadu pada Nabi Ya'kub bahwa Nabi Yusuf dimakan serigala. Padahal itu hanyalah rekayasa.

Aku berjalan menyusuri lorong demi lorong dan aku lupa ke mana jalan keluar. Rumah sakit sangat ramai. Aku kesasar di poliklinik. Beruntung, lekas kutemukan petunjuk arah keluar. Alih-alih fokus menemukan jalan, eh, mataku malah menangkap sosok yang sangat kurindukan.

Maysa. Duduk di deretan kursi tunggu. Sepertinya dia sendirian.

"May," sapaku memberanikan diri.

Wanita berkacamata itu mendongak. Tampak kaget melihat siapa yang menyapa. "Abang?"

Aku tersenyum, kikuk meminta dia bergeser dari posisi duduknya. Ia pun memberiku tempat, berjarak satu kursi kosong.

"Lagi apa, May?" Ini rumah sakit ibu dan anak, untuk apa Maysa ke sini?

"Nganter temen. Anaknya terapi di sini," jawabnya sembari mengarahkan dagu pada klinik tumbuh kembang di hadapan kami.

"Oh. Siapa?"

"Pegawai di toko. Namanya Mbak Eka."

"Terapi kenapa?"

"Anaknya mengalami GDD."

"Apa itu?"

"Global Delay Development. Tumbuh kembangnya terlambat."

"Hmm ...."

"Abang ngapain?"

"Habis jenguk anaknya temen. Nyari jalan keluar, malah kesasar di sini." Kesasar yang sangat disyukuri, batinku menambahi.

"Oh ...."

Nge-blank. Tanya apa lagi, tanya apa lagi? Ayolah Reyhan ..., ini kesempatan!

Oh, ide ... munculah! Oh, ya!

"Sejak kapan pake kacamata?" Aku menatap frame warna marun yang melintasi pelipisnya.

"Oh," ia membetulkan letak kacamatanya, "udah hampir dua bulan. Abang benar, mataku silinder." Ia tersenyum, menampilkan kedua lesung di pipi. Manis. Madu hutan saja kalah.

Duh, pisau tumpul jamuran! Astagfirullah! Sesulit ini jaga pandangan dari mantan.

"Udah parah banget, ya? Sampe ... jatuh-jatuhin barang?" Aku menunduk, menahan senyuman.

Maysa tertawa lirih. Tawa yang kurekam baik-baik, lalu kusimpan rapi-rapi dalam memori.

"Iya. Kata dokter, kalau cahaya yang diterima mata cuma remang-remang atau buram, penglihatan jadi gelap. Makanya, sering meleset kalau mau naruh barang."

Aku terkesiap. Menoleh wanita yang wajahnya masih menyisakan senyuman. Cahaya lampu dapur memang tak seterang ruangan yang lain. Harusnya aku peka.

Kami terdiam beberapa saat. Saking banyaknya yang mau kutanyakan dan kuungkap, otak sampai bingung mau mendahulukan yang mana. Rasanya seperti ada benang kusut di kepala. Benar-benar ruwet!

"Oh ya, Bang. Berkas cerainya udah diurus?"

"Kenapa, emangnya?" tanyaku lirih. Dalam hati, aku merintih. Maysa, tidak tahukah bahwa pertanyaan itu membuat hatiku ngilu?

"Hampir tiga bulan. Tapi belum ada kabar apa-apa dari Abang."

"Kamu ... mau nikah dalam waktu dekat?" Bayangan Ustaz Hadi melintas begitu saja. Membuatku ingin memeluk tiang penyangga gedung ini.

Maysa tertawa renyah. "Ya ... siapa tahu. Mohon doanya aja."

Isi dadaku terpelintir. Sakitnya merambat ke ujung tangan dan kaki. Aku hanya menunduk, muka pun sudah tertekuk.

"Udah selesai, Mbak?" Maysa bicara dengan seseorang. "Nangis, ya?"

Aku mendongak, menatap sosok wanita yang usianya kira-kira sebaya denganku. Kedua lengannya menyangga seorang anak perempuan kira-kira berusia tiga tahunan. Masih sesenggukan.

"Iya, nangis terus pas diterapi. Bingung, aku Mbak May."

"Sini, gantian Tante yang gendong, ya?" Maysa berdiri, mengulurkan kedua tangan untuk meraih anak itu. Tapi ia menolak.

"Ibu udah capek, Ana. Sama Tante aja, yuk!"

"Enggak papa, Mbak. Kalau udah kayak gini, Ana susah digendong sama orang lain."

"Ya udah deh. Oh, ya, Bang. Kami pulang dulu." Maysa memandangku sambil mencangklong tas. Bersiap untuk berlalu.

"Naik apa?" tanyaku ikut berdiri.

"Taksi online."

"Abang anter, ya?"

Maysa menoleh Mbak Eka. Meminta persetujuan lewat tatapan mata. Tapi wanita yang sedang menggendong anaknya itu terlihat tidak fokus. Maysa lekas memberi keputusan, "Oh, enggak usah, Bang. Khawatir ngrepotin. Lagian, ini kan, masih jam kantor."

"Enggak papa, May. Bisa izin sebentar."

Maysa tampak ragu. Lalu setelah memandangi Ana yang masih sesenggukan dan ibunya yang tampak lelah, ia mengangguk. Mungkin kasihan kalau harus menunggu taksi datang.

Aku menghela napas lega. Tuhan, terimakasih atas kesempatan yang tak terduga.

"Udah makan siang?" tanyaku pada Maysa yang duduk di sebelahku. Aku melajukan mobil perlahan. Siang ini jalanan padat. Kondisi yang mau tidak mau membuat Maysa berlama-lama bersamaku.

Maysa menoleh Mbak Eka yang duduk di jok belakang. Ah, dari raut muka kedua orang ini aku bisa menebak.

"Belum, kan?" tanyaku dengan senyum mengembang.

"Belum, Bang."

Eh, malah pegawainya itu yang jawab.

"Mau makan di mana? Toko masih agak jauh. Apalagi jalannya macet gini. Kebetulan, Abang juga belum makan siang."

"Terserah Abang." Maysa menjawab setelah melirikku sebentar.

Sebuah restoran Arab menjadi tujuan. Ada nasi kebuli yang terkenal enak. Maysa suka makanan berempah. Sambil menunggu pesanan, kami berbincang akrab. Sayangnya, bukan soal perasaan yang dibahas. Tapi tentang terapi yang dijalani Ana.

Ya, ibunya yang bercerita. Kami menjadi pendengar setia. Sesekali aku menanggapi atau bertanya, sementara Maysa diam dengan tatapan menerawang entah ke mana.

Rupanya anak kecil itu terinfeksi rubella sewaktu masih di kandungan. Efeknya sangat berat. Mulai dari jantung bocor, tuna rungu, dan hingga detik ini belum bisa berjalan. Ah, jangankan berjalan, bahkan merangkak pun belum bisa.

Seketika teringat janin itu, calon bayi kami. Lalu hati terasa luluh lantak, saat kulirik Maysa menunduk dalam sembari mengaduk-aduk minuman.

Maafkan Abang, Maysa ....

Andai boleh, ingin kugenggam tangannya. Meraihnya dalam dekapan paling nyaman, atau membisikkan satu dua kalimat sebagai penenang. Tapi aku tahu, ia wanita yang sangat menjaga kehormatan.

May ..., balikan aja, yuk!

Aku tersenyum getir, menyadari ajakan itu sebatas dalam batin. Nyaliku kembali ciut. Isi hati Maysa tidak bisa ditebak. Tapi dari pertanyaan soal berkas perceraian sampai cincin yang sudah lenyap dari jari manis kirinya, aku yakin Maysa sudah tidak menganggapku sebagai seseorang yang berarti dalam hidupnya.

Sakitnya itu ... dari dada sini lalu menjalar ke mana-mana. Aku pun menikmati makan siang dengan lidah yang seakan mati rasa.

Usai bersantap, kami kembali melanjutkan perjalanan. Begitu tiba di depan toko kue, Maysa mempersilakan pegawainya turun duluan. Sebelumnya, aku memang memberi tahu bahwa ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.

"Mau bicara apa, Bang?" tanyanya dengan pandangan lurus ke depan.

"Abang mau ngasih ini." Aku mengulurkan sebuah amplop putih. Berisi lima puluh lembar uang bergambar Presiden RI pertama.

Dia menatapku heran, lalu beralih memandang amplop yang mengambang. "Itu apa?"

"Nafkah selama Maysa menjalani masa iddah. Maaf, Abang baru ngasih sekarang. Baru tahu."

Maysa melengos. Tanpa menunggu jeda, air matanya lolos.

"May ...," lirihku memohon.

"Makasih. Abang kasihkan aja sama yang membutuhkan. Saya permisi. Assalamu'alaikum." Tangannya cekatan membuka pintu. Kemudian ia berlari, meninggalkanku.

*

Aku mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk mengajukan gugatan cerai. Lembar demi lembarnya sungguh membuatku terluka. Terutama buku nikah. Ada foto Maysa di sana. Begitu polos dengan kerudung putihnya. Sesungging senyum tipisnya ....

Aku memekik sendirian di kamar. Lalu kulempar berkas-berkas itu ke sembarang arah.

Benar-benar tidak sanggup, Ya Allah ....

Jika baru mengumpulkan berkas saja sudah sesesak ini, lantas bagaimana di hadapan hakim nanti? Perceraian lewat pengadilan hanyalah urusan administrasi. Tapi proses yang akan kami lalui pasti akan panjang dan menyakitkan. Karena sesungguhnya perceraian itu sudah terjadi. Apa gunanya mediasi? Apa gunanya pembacaan ikrar talak? Huh?

Pembagian harta gono-gini? Tidak ada yang dibawa Maysa. Wanita itu kelewat bersahaja.

Besaran nafkah iddah? Masa iddah bahkan sudah habis. Maysa pun tidak sudi menerima.

Malam ini, aku benar-benar frustasi. Andai tidak ada iman dalam hati, entah sudah ke mana aku melarikan diri.

-x-